Sertifikasi Tanah Wakaf, Bagian Solusi Regulasi Tempat Ibadah
Regulasi terkait pendirian tempat ibadah menjadi salah satu topik diskusi antara Sekretaris Daerah Wali Kota Denpasar Rai Iswara mewakili Wali Kota Denpasar saat bertemu dengan Tim Kunjungan Kerja Komisi VIII DPR RI di Gedung Suaka Dharma, Denpasar, Senin sore (27/4).
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi VIII DPR RI Bisri Romli (F-PKB) berpendapat bahwa keberadaan tempat ibadah sebenarnya sudah cukup dengan peraturan yang sudah ada. Sementara regulasi yang khusus justru dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru dan menjadi polemik di masyarakat.
"Saya mencontohkan Pura di Bali, selama tidak atas nama siapapun (pribadi) biasanya aman karena kesakralannya orang tidak berani mempermasalahkannya. Yang penting nomenklatur di kelurahan jelas jika tempat tersebut benar-benar Pura ini untuk antisipasi jika suatu saat pada masa datang ada pihak-pihak yang mempermasalahkan," tukasnya.
Politisi asal Dapil Jateng ini justru mengharapkan masyarakat memanfaatkan salah satu program Kementerian Agama (Kemenag) soal sertifikasi tanah wakaf.
"Di Kemenag itu ada nomenklatur untuk mengurus sertifikasi tanah wakaf nilainya Rp.2,5juta tapi terakhir (tahun 2014) anggaran tersebut hanya terserap 40 persen, sementara daerah di luar Jawa banyak belum memanfaatkan," ungkap Bisri.
Ia menambahkan jika setelah diwakafkan dan disertifikasi (atas nama lembaga) maka tidak akan ada lagi potensi sengketa di masa datang, oleh karena itu dirinya sangat menghargai kalau Mushola, Masjid dan tempat ibadah lainnya diurus persoalan statusnya sebagai tanah wakaf sehingga tanah tersebut menjadi milik "Allah" (Tuhan) dan tidak bisa diperjualbelikan.
"Tanah atau Masjid (tempat ibadah) yang diwakafkan itu otomatis sudah menjadi milik masyarakat (atas nama lembaga), tidak lagi bisa diklaim milik perorangan dan itu bagian dari regulasi. Soal misalnya ingin membangun Masjid (tempat ibadah) memang harus ada izin dari masyarakat sekitar itu sudah ada aturannya," tambah Bisri.
Politisi asal kota batik Pekalongan ini juga menekankan bahwa masyarakat tidak bisa bertindak semaunya sendiri, misalnya ditengah-tengah masyarakat muslim lalu mau mendirikan Gereja. "Seperti di sini (Bali) yang mayoritas Hindu, masyarakat muslim pun harus mengikuti aturan yang ada jika ingin mendirikan Masjid, supaya lebih tertib dan menghindari adanya konflik antar masyarakat," pungkas Bisri Romli. (oji)